Thursday 15 January 2015

BENARKAH KAUM SANTRI BERPERAN DALAM PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA?

Kondisi kehidupan bersama masyarakat dalam Negara bangsa sedang mengalami krisis multidimensi yang akut. Berbagai problem sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan terus mendera bangsa ini. Reformasi tahun 1998 yang semula diharapkan membukan jalan baru bagi masa depan Indonesia yang lebih baik belum memperlihatkan tanda-tanda yang menggembirakan.
Alih-alih dapat memulihkan kondisi traumatic era pemerintahan orde baru yang sarat dengan citra dan praktik-praktik kekuasaan sentralistik, otoriter dan ademokratik, reformasi yang sudah berlangsung selama 13 tahun itu malahan menunjukkan wajah yang  semakin muram. Sejumlah perubahan fundamental dalam struktur kenegaraan dan tata kelola pemerintahan desentralistik, dalam rangka demokratisasi yang lebih luas dan substansial, belum mampu melahirkan kondisi kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Reformasi birokrasi yang dicanangkan sejak awal reformasi seakan-akan hanya menghasilkan perubahan Departemen menjadi Kementerian. Situasi paling fenomenal yang amat transparan adalah praktik-praktik korupsi yang endemic. Korupsi telah menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat dari atas sampai bawah. Setiap hari bangsa Indonesia disuguhi berita-berita di media masa berbagai modus korupsi dan suap-menyuap yang melibatkan para pengambil kebijakan publik-politik baik di pusat maupun daerah. Korupsi dan suap mengalami proses banalitas, menjadi kebiasaan yang dimaklumi (permisif) dan seakan-akan tidak dianggap salah dan berdosa besar.[1]Korupsi di manapun dan kapanpun merupakan praktik penghimpunan kekayaan/hak milik, atas dasar kekuasaan, demi keuntungan/kepentingan pribadi atau golongan melalui cara-cara perampasan atas hak-hak kesejahteraan masyarakat. Tak dapat ditolak bahwa Korupsi telah menciptakan kemiskinan dan penderitaan mereka. Meskipun telah ada aturan-aturan yang mengharamkan praktik ini, akan tetapi institusi-institusi hukum tampaknya belum atau tidak mampu mengatasi problem besar ini secara lebih signifikan. Dalam banyak kasus penanganan atasnya masih dikesankan tebang pilih dan tidak berkeadilan. Tekad dan janji  para pemimpin negeri ini untuk menjadi pihak yang terdepan dalam pemberantasannya, belum membuahkan hasil.
Di luar itu, kekerasan atas nama agama dan moralitas acapkali terjadi. Negara seakan-akan dan acap kali terkesan membiarkan kekerasan itu berlangsung. Kelompok-kelompok keagamaan radikal acapkali memaksakan kehendaknya terhadap kelompok-kelompok lain melalui cara-cara kekerasan. Intoleransi antar agama tampak menonjol dan semakin meningkat. Sejumlah lembaga sosial yang bekerja untuk isu-isu ini telah mendokumentasikan pelanggaran kemanusiaan ini. The Wahid Institute, misalnya, mencatat pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tahun 2010 meningkat 45% dari tahun 2009, atau dari 35 menjadi 64 kasus. Sementara intoleransi dan diskriminasi juga meningkat, dari 93 kasus pada tahun 2009 menjadi 135 kasus pada tahun 2010, meningkat 31%.[2] Warga bangsa pemeluk agama mayoritas seakan-akan bisa melakukan tindakan apa saja terhadap warga bangsa minoritas. Ini menunjukkan bahwa jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan mengalami kemunduran.
Kerusuhan sosial dan konflik antar warga yang menelan banyak  korban tak berdosa acap kali terjadi. Kriminalitas dan kejahatan kemanusiaan lainnya hampir terjadi setiap hari di banyak tempat. Kekerasan terhadap perempuan dan anak, eksploitasi seksual, pelacuran, perdagangan manusia (trafiking). Komnas Perempuan dalam siaran Persnya 23 September 2011 menyebutkan sepanjang tahun 2010 ada 295.836 kasus kekerasan terhadap perempuan. 1/3 di antaranya adalah kekerasan seksual. Maka setiap hari ada 28 perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat. Dalam beberapa hari terakhir, konflik antar suku dan atas nama agama yang menghancurkan infrastruktur sosial dan merenggut banyak korban manusia kembali terjadi di Ambon dan Papua.
Di tengah realitas kehidupan bangsa yang terpuruk dan sangat mengecewakan itu, kemudian muncul kelompok-kelompok sosial-keagamaan yang berusaha mencari jalan pintas mengusung pergantian system Negara-bangsa menjadi Negara Khilafah. Negara Khilafah dalam fakta sejarahnya adalah Negara teokrasi, sebuah system yang didasarkan pada agama tertentu. Dengan sistem ini kewarganegaraan seseorang akan didasarkan atas identitas agama penguasa. Identitas agama di luar agama penguasa akan dianggap sebagai orang asing dan warga negara kelas dua (the second citizen). Sistem ini bertentangan dengan system demokrasi yang dianut bangsa Indonesia.  Jika ini terwujud, maka pilar-pilar Negara-bangsa (nation-state): Pancasila, Kebhinekaan dan Kesatuan Negara Bangsa (NKRI), yang dibangun dengan darah dan air mata, dan dijaga selama bertahun-tahun terancam musnah.
Kegagalan system Pendidikan
Sejumlah problem kebangsaan di atas adalah sebagian saja dari realitas Indonesia hari ini. Sejumlah tokoh menyebut situasi ini sebagai kegagalan berbangsa dan bernegara. Indonesia dianggap sebagai Negara gagal. Berbagai pihak lalu mencoba menganalisis keadaan yang carut-marut ini dan mencari akar masalahnya, dengan perspektifnya masing-masing. Pengamatan, pengkajian dan analisis pada umumnya menyimpulkan bahwa akar dari berbagai problem sosial, ekonomi dan politik kebangsaan tersebut adalah krisis moral atau rapuhnya karakter bangsa. Indonesia tengah mengalami degradasi karakter kebangsaan. Karakter Indonesia, yang sering disebut sebagai bangsa yang relegious, ramah, toleran, suka gotong royong dan sejenisnya, kini telah hilang.  Boleh jadi hal ini akibat belum siapnya Negara dan bangsa ini menghadapi gempuran arus globalisasi.
Pertanyaan krusialnya adalah dari mana krisis dan rapuhnya karakter bangsa ini bersumber?. Jawaban umum atas pertanyaan ini adalah Pendidikan. Ialah yang dalam segala zaman dan segala bangsa merupakan basis untuk menciptakan karakter bangsa dan peradaban manusia. Penanaman nilai-nilai kemanusiaan, seperti ketulusan, kejujuran, disiplin, ketekunan, penghargaan terhadap hak-hak manusia dan lain-lain, sebagai tujuan pendidikan  mengalami proses marginalisasi yang demikian jauh.
Sejak beberapa waktu yang lampau, penyelenggaraan pendidikan di negeri ini, lagi-lagi dalam banyak fakta, bukan dalam kerangka idealitas dan konseptualnya, lebih mengutamakan tuntutan-tuntutan formalisme dan procedural belaka. Pada sisi yang lain praktik pendidikan lebih memprioritaskan  dimensi akal-rasional, dan mensubordinasi atau memarjinalkan dimensi pendidikan moral, budi pekerti atau dalam bahasa pesantren “akhlaq”. Pendidikan di negeri ini dibangun lebih dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis-pragmatis, individualistic, berjangka pendek, mencari kerja dan kepentingan materi.
Dampak lebih jauh dari pengelolaan pendidikan seperti di atas adalah lahirnya kecenderungan masyarakat baik secara individu maupun kelompok, golongan dan partai politik untuk melakukan kontestasi atau mungkin lebih dekat disebut “pertarungan” untuk meraih kekuasaan ekonomi, sosial dan politik. Kenyataan-kenyataan ini memperlihatkan kemunduran dan mendegradasi prinsip-prinsip pendidikan, makna dan idealisme pendidikan sendiri. Idealisme pendidikan seperti sudah disebut adalah menciptakan/ melahirkan generasi yang cerdas, berbudi, bertaqwa dan berguna bagi keadilan dan kemakmuran bangsa. Dan ujung dari proses degradasi dunia pendidikan ini pada gilirannya akan menyentuh nilai-nilai kebangsaan paling fundamental. Yaitu  Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 berikut amandemennya, Kebhinekaan dan Kesatuan Bangsa. Keempatnya merupakan pilar-pilar Negara bangsa. Jika situasi pengabaian dan pelanggaran atas nilai-nilai kebangsaan ini terus berlangsung tanpa bisa diatasi dengan segera, maka bangsa Indonesia berada dalam ambang disintegrasi dan keruntuhannya.
Kiyai, Pesantren dan Pendidikan Karakter Bangsa
Pesantren sebagai bagian dari komunitas bangsa juga tak lepas dari pengaruh-pengaruh dinamika nasional yang sedang berlangsung saat ini dan terperangkap dalam gelombang globalisasi dengan seluruh nilai positif dan negatifnya. Dalam situasi belakang ini, Pesantren juga sedang menghadapi gerakan ideology keagamaan transnasional. Meski demikian, pesantren secara umum, paling tidak sampai hari ini, masih tetap eksis, baik secara institusional, tradisi-tradisi dan karakter-karakter yang dimilikinya. Dengan kata lain, sergapan globalisasi terhadap pesantren, yang tak bisa dihindarkan itu, sesungguhnya tidaklah menyentuh elemen ideologisnya, melainkan hanya pada penggunaan tekonologi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan mungkin, politik. Lagi-lagi paling tidak sampai hari ini.
Pesantren acap dipahami secara sterotipe sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional, ortodoks dan konservatif. Kendatipun pernah dianggap demikian oleh sebagian orang, akan tetapi realitas yang berjalan hingga dewasa ini menunjukkan bahwa Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tetap survive dan masih tetap diminati oleh banyak anggota masyarakat. Ketika dewasa ini banyak orang tua yang kebingungan mencari lembaga pendidikan alternatif untuk membentengi dirinya dari pengaruh-pengaruh negatif modernisme dan globalisasi, maka satu dari sekian jawabannya adalah pendidikan model pesantren ini. Sampai hari ini pesantren memang masih dianggap atau dikenal sebagai lembaga pendidikan yang sangat ketat dalam memproteksi para santrinya dari pengaruh-pengaruh produk modernitas yang buruk, terutama pergaulan bebas, kenakalan, narkoba, dan lain-lain.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), seorang kiyai dan cendekiawan terkemuka Indonesia dalam penelitiannya yang tajam menyebut pesantren sebagai subkultur. Ini merupakan tesis Gus Dur yang sangat terkenal. Dalam penjelasan argumentatifnya Gus Dur mengemukakan bahwa pesantren, berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya, memiliki paling tidak tiga elemen utama yang layak untuk menjadikannya sebagai sebuah subkultur. Yaitu : (1) pola kepemimpinan pesantren yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh negara, (2) kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan yang diambil dari berbagai abad, (dalam terminologi pesantren dikenal dengan kitab klasik atau Kitab Kuning) dan (3) sistem nilai (velue system) yang dianut.[3] Tiga komponen utama ini bukanlah unsur-unsur yang terpisah, melainkan saling terkait. Kiyai adalah pemimpin, penjaga dan pengarah unsure-unsur yang lainnya, sekaligus juga pengamal pertama atas kandungan “Kitab kuning”, sebuah buku agama yang pada umumnya diproduksi sekitar abad pertengahan. Kandungannya sarat dengan pandangan-pandangan keagamaan yang beragam dan nilai-nilai moral ketuhanan (spiritualisme). Ajaran-ajaran berikut nilai-nilai yang terkandung itu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam komunitas Pesantren di bawah pengawasan dan bimbingan ketat Kiyai sepanjang hari dan sepanjang malam. Kiyai adalah tokoh sentral dan pemegang otoritas tunggal atas nasib pesantren. Hubungan antara kiyai dan santri diibaratkan bagaikan hubungan ayah dan anak. Kiyai adalah ayah dan pengasuh para santri dan kemudian komunitas sosial di sekitarnya. Sementara hubungan antar para santri bagaikan hubungan antar saudara dalam sebuah keluarga besar. Hubungan di antara kiyai dan santri dan antar para santri begitu akrab dan menyatu. Keakraban ini sangat dimungkinkan mengingat kiyai dan santri hidup dalam satu lingkungan (tempat tinggal). Pendikan Pesantren boleh dikatakan berlangsung selama 24 jam. Sepanjang waktu tersebut kehidupan para santri sepenuhnya diarahkan untuk mempelajari kitab suci al-Qur’an, mendalami ilmu pengetahuan, beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan serta memperkuat dasar-dasar moralitas keagamaan yang luhur yang populer disebut al-Akhlaq al-Karimah.
Tradisi dan pola hidup pesantren tersebut dalam realitasnya tidak hanya dianut oleh para santrinya semata, melainkan juga masyarakat di sekitarnya. Interaksi antara pesantren dan masyarakatnya yang berlangsung secara intensif pada gilirannya membentuk pola relasi budaya, sosial dan keagamaan di kalangan mereka. Posisi kiyai dalam komunitas pesantren dan masyarakat demikian besar dan sentral. Kiyai dipandang sebagai figure ideal di mata para santri dan komunitas sekitarnya. Di samping penguasaan dan kedalamanya atas keilmuwan Islam, Kiyai juga diyakini sebagai pewaris Nabi.  Ini sesungguhnya menjadi sebuah kekuatan untuk kemajuan pembangunan dan transformasi sosial. Maka sering dikatakan orang bahwa kiyai adalah agen perubahan sosial. Pengaruh kekuasaan moral kiyai memang jarang dapat diketahui orang-orang yang tidak pernah menjadi santri. Geertz dengan mengutip penilaian Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat mengatakan : “…Orang yang tidak pernah menjadi siswa dalam suatu pesantren… nyaris tidak dapat menyadari betapa besar kekuasaan moral seorang ulama atas massa rakyat,”.[4]
Meski demikian, sentralitas kepada figure seperti itu sesungguhnya juga mengandung kelemahan bagi kelangsungan hidup pesantren sendiri. Begitu Kiyai meninggal dunia, tidak jarang pesantren kemudian mengalami kemunduran dan redup bahkan tidak sedikit yang kemudian “gulung tikar”.
Moral sebagai Visi dan Misi Pesantren
Definisi tentang pesantren di atas sebenarnya telah menggambarkan bahwa Pesantren sejak awal didirikan diniatkan dalam rangka mendidik, melatih dan menanamkan nilai-nilai luhur kepada santrinya tentang moral dan spiritualitas. Beberapa nilai moralitas yang selalu ditekankan dalam ajaran-ajaran di pesantren adalah keikhlasan (al-Ikhlash), kemandirian (al-I’timad ‘ala al-Nafs), kesederhanaan hidup (al-Iqtishad), asketis (al-Zuhd), menjaga diri (al-Wara’), dan lain-lain. Zamakhsyari Dhofir dalam disertasinya menulis mengenai tujuan pesantren sebagai berikut :
“Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan pelajaran-pelajaran agama, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah-laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap santri diajarkan agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) kepada Tuhan”.[5]
Maka, tak dapat disangkal bahwa orientasi ajaran seperti ini pada gilirannya sangat memengaruhi pandangan, pemikiran dan sikap hidup para santri. Aktifitas kehidupan sehari-hari mereka banyak diliputi praktik-praktik moralitas sufisme tersebut. Orientasi hidup semacam ini di satu sisi dapat membentuk karakter-karakter kesalehan individual, akan tetapi pada sisi lain, dimensi nalar-intelektual-rasional, seringkali kurang memperoleh tempat yang signifikan di pesantren, bahkan seringkali dihindari. Ini boleh jadi merupakan kelemahan pesantren, tetapi ia adalah sebuah pilihan dengan seluruh konsekuensinya.
Pada umumnya pesantren menyebut “Tafaqquh fi al-Din”, sebagai tujuan pesantren. Secara literal ia berarti “mendalami agama”. Pengertian tafaqquh di sini bukanlah hanya berarti mempelajari agama eksoterik, atau dalam arti hukum-hukum fiqh yang legal-formal, melainkan lebih jauh dari itu. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, sebuah kitab rujukan utama mengenai etika pendidikan, karya al-Zarnuji, bermazhab Hanafi disebut bahwa “fiqh bermakna “Ma’rifah al-Nafs Ma Laha wa Ma ‘alaiha” (Pengetahuan tentang tentang diri, apa yang baik dan yang buruk). Pernyataan ini memperlihatkan bahwa Tafaqquh fi al-Din mengandung makna esoteric, moral dan etika. Maka tidaklah mengherankan jika Kitab Kuning, sebagai sumber-sumber pengetahuan di pesantren banyak sekali berisi ajran-ajaran moral-sufistik. Beberapa di antaranya adalah Beberapa di antaranya adalah : Durrah al-Nashihin, Izhah al-Nasyi-in, Bidayah al-Hidayah, Risalah al-Mu’awanah, Irsyad al-‘Ibad,Nasha-ih al-‘Ibad, al-Mizan al-Kubra dan Ihya Ulum al-Din.
Sejumlah penelitian terhadap pesantren memang menemukan bahwa dalam kenyataannya bidang fiqh (hukum Islam), menjadi pelajaran dominan dan factor penting dalam membentuk tradisinya. Namun segera dikemukakan bahwa dalam kajian yang lebih mendalam ditemukan bahwa fiqh yang dipelajari di pesantren pada umumnya adalah fiqh yang diwarnai oleh pikiran-pikiran sufisme. Para peneliti menyebutnya “Fiqh Sufistik”.
Akhlaq/Tasawuf bermakna Nilai-nilai Kemanusiaan
Dalam kamus besar bahasa indonesia kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti; kelakuan.[6] Akan tetapi sebenarnya ia berasal dari bahasa Arab (al-akhlaq), dan jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia bisa berarti perangai, tabiat.[7] Akhlak sebenarnya adalah kata plural. Sementara kata “mufrad” atau singularnya adalah “khuluq”. Kata ini memiliki akar kata “khalq” yang berarti ciptaan. Yakni sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan. Karena itu ia melekat dalam setiap diri manusia, dari manapun ia berasal, apapun warna kulit, jenis kelamin, suku, kebangsaan, agama dan sebagainya.
Imam Al-Ghazali (450 H-1111 M) menyebut sejumlah definisi akhlaq. Salah satu di antaranya adalah “sifat (hai-ah) yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan secara mudah (reflektif), tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jika sifat tersebut melahirkan perbuatan-perbuatan yang indah (al-jamilah) dan terpuji (al-mahmudah) menurut agama dan akal, maka ia dinamakan akhlak yang baik (khuluqan hasanan), dan apabila menghasilkan perbuatan-perbuatan yang buruk (qabihah), maka ia dinamakan akhlak yang buruk (khuluqan sayyi-an)”. “. Makna ini menunjukkan bahwa akhlak merupakan sifat dan gambaran jiwa (hai-ah al-nafs wa shuratuha al-bathinah).[8]
Makna ini sesungguhnya sama dengan arti etika dan moral. Di dalam Kamus Besar Bahasa  Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988) dipaparkan makna kata etika yang berasal dari bahasa Yunani ethos, dalam tiga pengertian, yaitu: 1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban  moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Haryatmoko menyimpulkan bahwa etika (yang disamakan maknanya dengan moral) merupakan wacana normative dan imperative yang diungkapkan dalam kerangka baik/buruk, benar/salah yang dianggap sebagai nilai mutlak atau transenden.[9]
Meski akhlak bisa berarti perilaku atau sikap yang baik dan buruk atau positif dan negatif, akan tetapi dalam banyak perbincangan masyarakat sehari-hari kata “akhlak” hampir selalu memiliki konotasi baik dan positif, seperti kejujuran, ketulusan, kesabaran, rendah hati, kasih, keberanian, murah hati, santun, bertindak adil, menghargai orang lain dan sebagainya. Dalam teks-teks Islam, akhlak yang baik disebut al-Akhlaq al-Karimah.
Kecenderungan paling umum menganggap bahwa akhlaq yang diamalkan di pesantren lebih berdimensi sufistik. Dan dalam banyak perbincangan sosial, Tasawuf atau sufisme terlalu sering diberi makna ekslusif, tertutup, individual sehingga seakan-akan tidak memberi makna bagi kehidupan social dan peradaban manusia. Tasawuf dipandang sebagai suatu cara hidup asketis (zuhd), mengasingkan diri dan mementingkan diri sendiri. Bahkan lebih jauh dari itu, sufisme sering distigmatisasi sebagai penyebab kehancuran dan kebangkrutan peradaban Islam. Ini karena, menurut sebagian orang, ia mengajarkan anti rasionalisme dan anti filsafat. Sufisme juga menganjurkan kemiskinan dan membenci kemewahan kehidupan dunia. Pandangan atau kesan-kesan terhadap sufisme seperti ini biasanya muncul dalam masyarakat modern dan rasional
Pandangan-pandangan ini bagi saja tentu saja menyederhanakan masalah. Kehancuran masyarakat atau bangsa memiliki factor-faktor yang sangat kompleks. Dalam sejarahnya, sufisme justeru hadir untuk mengkritik atau bahkan mendekonstruksi perilaku-perilaku sosial yang menyimpang, korup dan mendehumanisasi manusia. Karena inti dari gagasan sufisme adalah “al-Takhalli” (membersihkan sifat-sifat, atau karakter-karakter hati/jiwa) dan “al-Tahalli”, (menghiasi diri dengan sifat-sifat yang baik dan terpuji). Kaum sufi sama sekali tidak melarang aktivitas-aktifitas sosial, ekonomi, politik dan budaya. Mereka hanya ingin mengingatkan bahwa seluruh aktifitas tesebut haruslah diarahkan bagi kepentingan atau kesejahteraan sosial, dan dikelola dengan cara-cara yang benar dan bermoral. Ajaran “zuhd” sering diartikan menjauhi dunia atau bahkan membencinya. Bagi saya pamaknaan zuhd seperti ini sangat simplistic. Dalam sufisme makna “dunia” dalam konteks ini adalah “sifat-sifat kemanusiaan yang rendah (dana-ah/buruk) dan pragmatis, untuk hari ini di sini (dana/al-dani).
Dalam tingkat yang lebih tinggi, sufisme akan menekankan pada kesatuan eksistensi, penyatuan manusia atas dasar cinta. Gagasan ini sepenuhnya ide-ide kemanusiaan universal. Ini yang kerap disebut sebagai tasawuf falsafi. Akan tetapi harus diakui bahwa tasawuf ini sudah tidak banyak dikembangkan di pesantren. Tasawuf di Pesantren pada umumnya berakhir pada “tasawuf ‘amali” belaka.
Gagasan tasawuf falsafi bersumber dari prinsip fundamental Islam, yaitu Tauhid. Artinya “tidak ada tuhan kecuali Tuhan Yang Satu”. Ia acapkali disebut sebagai “kalimah al-ikhlas”. Kalimat ini tidaklah semata-mata pernyataan verbal belaka, melainkan memiliki implikasi-implikasi sosial-kemanusiaan. Pernyataan ini mengandung makna kebebasan, kesetaraan, dan penghargaan atas martabat manusia. Konsekuensi lebih lanjut dari prinsip ini adalah bahwa semua manusia di manapun adalah bersaudara. Sufisme menegaskan bahwa tidak ada persaudaraan kecuali persaudaraan yang menghimpun seluruh prinsip kemanusiaan. Manusia menyatu dengan yang lain; pertama-tama, dalam hubungan keluarga, kemudian hubungan umat dan akhirnya hubungan kemanusiaan. Hubungan yang terakhir ini melampaui batas-batas geografis. Manusia juga menyatu dalam kemanusiaannya pada masa lampau, kini dan mendatang. Banyak jalan menuju Allah. Tetapi hanya ada satu Jalan yang lurus. Yaitu melepaskan Ananiyyah (individualisme).[10]
Jika kita harus menyimpulkan, maka akhlak, etika atau moral yang dianut Pesantren mengandung nilai-nilai yang sepenuhnya bermakna kemanusiaan, baik dalam bentuknya yang dikesankan sebagai personal atau individual, seperti ketulusan, kejujuran, kesederhanaan, dan rendah hati maupun dalam relasinya dengan individu atau komunitas yang lain, seperti penghargaan terhadap perbedaan berpikir, kebebasan mengekspresikan pendapat dan keyakinan, penghormatan terhadap eksistensi “liyan” (the others) dan persaudaraan universal.
Dalam kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang berdimensi publik-politik di atas, nilai-nilai kemanusiaan itu mendapatkan formulasinya dari salah satu tokoh besar anutan masyarakat pesantren; Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M).  Dalam kitabnya yang terkenal “Al-Mustashfa min Ilm al Ushul”, al-Ghazali menyebut lima prinsip perlindungan yang harus menjadi basis dalam setiap relasi antar manusia. Lima prinsip itu adalah “Hifzh al-Din (perlindungan terhadap hak beragama dan berkeyakinan, Hifzh al-Nafs (hak hidup), Hifz al-‘Aql (hak berpikir dan berekspresi), Hifzh al-Nasl (hak kehormatan diri dan berketurunan, dan Hifz al-Mal (hak atas kepemilikan/proferti). Lima nilai ini menurut Imam al-Ghazali merupakan cita-cita agama (Maqashid al-Syari’ah).
Pesantren dan Eksistens Negara Bangsa
Dengan pandangan hidup kiyai dan nilai-nilai yang dianut pesantren sebagaimana sudah diurai serba singkat di atas, maka pesantren dalam momen-moment sejarah berbangsa dan bernegara, selalu tampil untuk ikut memberi sumbangannya bagi eksistensi Negara dan bangsa. Pada periode pra colonial (kerajaan), pesantren menjadi pusat dakwah penyebaran Islam tanpa kekerasan dan pemaksaan. Ini adalah era paling mengesankan dalam proses Islamisasi di Indonesia. Di era penjajahan kolonial, pesantren menjadi salah satu pusat heroisme pergerakan perlawanan rakyat. Para Kiyai dan Pesantren dalam banyak peristiwa memimpin perjuangan untuk kemerdekaan bangsa dari tirani penjajahan. Di era kemerdekaan, pesantren di bawah kepemimpnan Kiyainya, juga terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang panjang dan melelahkan, bersama tokoh-tokoh yang lain, dalam perumusan bentuk dan ideologi Negara Bangsa (Nasionalisme). Kiyai pesantren yang terlibat dalam persetujuan atas Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan konstitusi Negara Indonesia adalah K.H. A. Wahid Hasyim. Kiyai Wahid Hasyim juga menyetujui penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta: “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Jauh sebelum kemerdekaan Negara ini, para Kiyai Pesantren telah memandang bahwa Negara bangsa adalah sah dan eksistensinya wajib dipertahankan atas dasar agama. Dalam muktamar yang dihadiri ribuan Ulama/Kiyai pesantren itu diajukan sebuah pertanyaan :”wajibkah kaum muslimin mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia-Belanda, yang dipimpin oleh orang non muslim?. Jawaban mereka adalah bahwa mempertahankan Negara adalah wajib berdasarkan aturan agama. Ini didasarkan argument bahwa Kerajaan Hindia-Belanda memberikan jaminan kebebasan bagi kaum muslimin untuk menjalankan ajaran Islam dan bahwa kawasan ini (Nusantara) pernah berdiri Kerajaan-kerajaan Islam. Para Kiyai merujuk pandangan ini pada kitab “Bughayah al-Mustarsyidin”.
Pada era Orde Baru, dalam muktamar NU ke 27 di Situbondo, tahun 1984,  para Kiyai pesantren, mengukuhkan keputusan Alim Ulama tahun 1983 yang memjutuskan untuk menerima  Pancasila sebagai satu-satunya asas dan menetapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk Negara final dalam Islam.
K.H. Ahmad Siddiq, konseptor utama keputusan Muktamar 1984 ini, dalam makalahnya yang disampaikan pada Muktamar di atas mengatakan bahwa “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam tentang ke-Esa-an Allah, yang dikenal pula dengan sebutan Tauhid” dan bahwa “pencantuman anak kalimat “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa” pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan bernegara kita sebagai bangsa”. K.H. Ahmad Siddiq pada akhirnya menyimpulkan: “Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nasion teristimewa kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Para Kiyai/ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial.[11] (Muktamar Situbondo, 1984).
Demikianlah. Dari uraian singkat di atas, tampak jelas, bahwa Pesantren sepanjang sejarahnya, terlepas kekurangan dan kelemahanannya, telah memberikan sumbangan yang sangat penting dan berharga bagi masyarakat bangsa, bukan hanya dalam kerangka pembentukan karakter positif bagi individu-individu anak bangsa, melainkan juga bagi utuhnya sistem Negara Bangsa dengan seluruh pilar-pilarnya. Agaknya model pendidikan pesantren seperti ini, menarik sekaligus relevan untuk dijadikan bahan pemikiran dan inspirasi untuk kondisi Indonesia yang tengah dilanda krisis moral yang akut ini.
10 Oktober 2011
Makalah disampaikan pada Annual Conference on Islamic Studies, bertema “Merangkai Mozaik Islam dalam Ruang Publik untukMembangun Karakter Bangsa”, di Hotel Novotel, Pangkal Pinang, Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011.
[1] Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparancy Internasional-Indonesia, dalam laporan tahunannya mengatakan ; “Hari ini (2011) kita mengetahui potret korupsi dunia dan potret korupsi Indonesia. Khusus untuk Indonesia skor IPK Indonesia adalah 2,8, sama seperti skor pada tahun 2009. Artinya, tak ada kemajuan, jalan di tempat, stagnan. Pemberantasan korupsi bisa membahana dengan segala kegemuruhannya tetapi pada sisi lain korupsi jalan terus: corruption as usual”.
[2] The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Tloleransi Tahun 2010. Sementara Setara Institute dalam laporannya bertajuk ‘Negara Menyangkal Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, mencatat, tahun 2010, ada 216 peristiwa Pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yangdi dalamnya mengandung 286 bentuk tindakan, yaitu 183 tindakan pidana, 12 kondoning dan 52 intoleransi.
[3] Abdurrahman Wahid, “Pondok Pesantren Masa Depan”, dalam Sa’id Aqiel, ibid, h. 14.
[4] Dr. Manfred Ziemek, Op. Cit, h. 234
[5] Zamakhsyari Dhofir, ibid, h. 21

No comments:

Post a Comment