Wednesday 29 March 2023

Kisah Abdurrahman bin Auf

 

Dikisahkan, saat umat Muslim Mekah hijrah ke Madinah pada 622 M, Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar yang tujuan utamanya untuk menciptakan kerukunan dan menghindari ketimpangan ekonomi. Rasul menyadari, Anshar sebagai imigran telah meninggalkan semua hartanya di kampung halaman. Mereka pindah ke Madinah dengan tangan hampa.  

Kebetulan, Rasulullah mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Rabi’, orang terkaya dari kaum Anshar saat itu. Hebatnya, Sa’ad tidak saja dengan senang hati menerima Abdurrahman yang sudah jatuh miskin sebagai saudaranya, tetapi juga menawarkan separuh hartanya, bahkan rela andaikan ia harus menceraikan salah satu istrinya untuk Abdurrahman.  

“Aku adalah orang Anshar yang paling kaya, maka akan aku beri separuh hartaku untukmu. Kemudian lihatlah di antara kedua istriku, siapa yang engkau suka nanti akan aku ceraikan untukmu, jika ia telah halal maka nikahilah,” kata Sa’ad.  

Tidak diduga, Abdurrahman justru menolak tawaran Sa’ad. Bukan karena sombong tidak mau menerima uluran tangan, hanya ia ingin hidup mandiri dengan jeri payah sendiri. Di saat tak memiliki harta sepeser pun, lelaki Muhajirin itu masih menunjukkan pribadinya sebagai seorang pekerja keras yang tidak menggantungkan hidupnya dari pemberian orang lain.

“Semoga Allah memberkahi harta dan keluargamu. Tapi maaf, aku tidak membutuhkan itu. Begini saja, apakah ada pasar yang sedang berlangsung transaksi jual beli saat ini?” tanya Abdurrahman. Sa’ad pun menunjukannya Pasar Bani Qainuqa’.  

Sesampainya di pasar, Abdurrahman melakukan riset market dan memutuskan untuk menjual keju dan minyak samin. Usahanya sukses dan ia berhasil menjadi milirader. Terbukti, sejak saat itu tampilan Abdurrahman tampak mapan. Pakaiannya mewah dengan wangi parfum yang membuatnya lebih berwibawa. Dikatakan juga, sekarang ia sudah menikah dengan salah satu wanita Anshar. Kisah ini disampaikan dalam salah satu hadits Nabi riwayat Imam Bukhari.  

Dalam riwayat lain disebutkan, setelah tahu harga sewa di Pasar Bani Qainuqa’ mahal, ia bekerja sama dengan Sa’ad untuk membeli tanah di sana dan disewakan kepada para pedagang. Dari jasa sewa tanah inilah ia berhasil meraup banyak untung.  

Tampaknya etos kerja Abdurrahman ini sudah dimilikinya sejak di Makkah. Sebelum hijrah, ia dikenal sebagai sosok yang kaya raya. Semangat kerja keras lelaki Muhajirin ini senapas dengan ajaran Nabi Muhammad saw sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:

  مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ  

Artinya, “Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud as memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)

Gemar Bersedekah

Kesuksesan Abdurrahman tidak saja karena etos kerja yang dimilikinya, tetapi juga semangat ibadahnya yang tidak pernah redup. Salah satu amal salehnya adalah gemar bersedekah. Menjadi miliarder tidak membuat sahabat Nabi ini larut dalam kesibukan duniawi, sampai-sampai ia pernah mengungkapkan, “Aku adalah orang terkaya di Makkah. Tapi semua ini justru membuatku takut. Jangan-jangan hartaku sendiri yang akan menjerumuskanku.”  

Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, yang juga dicatat Muhibuddin ath-Thabari dalam Ar-Riyadhun Nadhrah fi Manaqibil ‘Asyrah, dikisahkan, sekali waktu saat Siti ‘Aisyah sedang di rumah (Madinah), tiba-tiba ia dikagetkan dengan suara gemuruh.

 “Suara apa ini?” tanya ‘Aisyah. Orang-orang menjawab, “Itu adalah kawanan unta milik Abdurrahman bin ‘Auf yang baru saja pulang dari Syam membawa serbaneka komoditas. Jumlahnya sebanyak 700 unta. Itu yang menimbulkan suara gemuruh tadi.”

Aisyah kemudian berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Aku melihat Abdurrahman masuk ke surga dalam keadaan merangkak (karena kekayaan yang dimilikinya).’”

 Setelah ucapan ‘Aisyah itu terdengar Abdurrahman, ia pun berucap, “Jika bisa, aku akan tetap masuk ke surga dengan berdiri.” Ia pun menyedekahkan semua gandum dan pelana unta miliknya untuk didermakan ke jalan Allah.

Sejarawan Muslim Jawwad Ali melaporkan tentang kedermawanan Abdurrahman bin ‘Auf ini. Menurutnya, ia tidak tanggung-tanggung menyedekahkan setengah hartanya, pernah juga bersedekah 40.000 dinar, 500 ekor kuda dan 500 kendaraan untuk keperluan perang, dan memerdekakan 30.000 hamba sahaya, dan masih banyak lagi kisah kemurahannya.

Ia juga pernah bersedekah kepada seluruh tentara Muslim yang masih hidup dalam Perang Badar masing-masing 400 dinar. Saat itu jumlah mereka adalah 100 orang. Kekayaan yang dimilikinya merupakan hasil dari bisnis berjualan.


Kisah Ibnu Abbas

Ibnu ‘Abbas berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki kamar mandi (toilet), kemudian aku meletakkan seember air untuknya.” Rasulullah berkata: “Siapa yang meletakkan ini?” Kemudian diberitahukan (bahwa itu adalah Ibnu ‘Abbas). Lalu Rasulullah berkata: “Ya Allah, berilah Ibnu Abbas kepahaman dalam agama.”


Terkadang kecerdasan seseorang bisa terlihat dari perilakunya. Tidak melulu dari struktur kalimat yang kaya bahasa akademik. Begitulah yang ditampilkan Ibnu Abbas. Sebagai anak kecil, ia telah mampu memahami kebutuhan orang lain tanpa instruksi atau perintah. Ia hanya melakukannya. Ia paham betul, bahwa seseorang yang memasuki kamar mandi pasti membutuhkan air. Karena itu, saat Rasulullah keluar dari kamar mandi, ia bertanya: “Siapa yang menaruh seember air di sini?” Kemudian dijawab, “Ibnu Abbas.”   Peristiwa ini terjadi di rumah Sayyidah Maimunah binti Al-Harits, istri Rasulullah dan bibi Ibnu Abbas dari pihak ibu. Sayyidah Maimunah merupakan saudari kandung Lubabah binti Al-Harits


Untuk pendalaman, mari kita coba uraikan kisah di atas, tapi sebelumnya kita perlu tahu terlebih dahulu usia Ibnu Abbas saat Rasulullah wafat. Satu riwayat mengatakan usianya masih 10 tahun ketika itu. Ibnu Abbas berkata:“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat (saat) usiaku sepuluh tahun, dan aku sudah disunat.”


Bisa dikatakan, secara sederhana Ibnu Abbas kecil memiliki kepekaan intelektual yang juga praktikal. Ia peka bahwa siapapun yang memasuki kamar mandi pasti membutuhkan air, apalagi di era itu, yang mana pengairan masih dilakukan secara manual dan tradisional. Bayangkan saja, anak sekecil itu sudah memiliki kepekaan intelektual yang baik dan praktikal. Itulah yang membuatnya luar biasa dan mendapatkan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kepekaannya itu diaktualisasikan dengan “laku”, tidak hanya berkutat dalam ruang teori. Karena banyak dari kita, meskipun sudah tahu dan sadar bahwa sesuatu itu baik, tetap enggan melaksanakannya. Berbeda dengan Ibnu Abbas kecil.

Hal ini menunjukkan kecerdasan laku dan pikiran yang membuat takjub Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa anak ini, di usia belia, sudah menjangkau kepekaan yang luar biasa, memiliki inisiatif untuk berbuat baik dan paham akan situasi, kondisi dan kebutuhan orang lain. Artinya, Sayyidina Abdullah bin ‘Abbas sudah memahami sesuatu tanpa instruksi. Ia dapat menafsirkan keadaan dengan baik, dan bertindak sesuai dengan penafsirannya yang baik itu.

 Untuk mencapai kepekaan atau memahami sesuatu tanpa instruksi, tidak banyak orang yang bisa, atau bisa dikatakan juga, enggan untuk bisa karena tidak pernah merenung dan berpikir tentangnya.   Contoh lain dari kecerdasan atau kepekaan Ibnu Abbas kecil terjadi saat ia shalat malam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berada di belakang, lalu Rasulullah memosisikannya sejajar dengannya. Setelah selesai shalat, Ibnu Abbas kecil bertanya kepada Rasulullah: “(Apakah) pantas seseorang shalat sejajar denganmu, padahal engkau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang yang dikaruniai Allah?” (Mendengar itu), kemudian Rasulullah berdoa kepada Allah agar menambahkan pemahaman dan ilmu untukku.”
 

Ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas kecil memiliki kesadaran dan kecerdasan akhlak yang luar biasa. Ia sudah berpikir tentang unggah-ungguh, sopan santun, dan etika yang paling pantas saat bersama Rasulullah. Tentu saja, hal ini tidak lepas dari teladan yang ditampilkan Rasulullah, sehingga Ibnu Abbas kecil bisa menyerapnya, memahaminya dan menerapkannya dengan baik.   Setelah didoakan oleh Rasulullah, Sayyidina Abdullah bin Abbas terus membersamai Rasulullah, berkhidmah dan belajar darinya. Tidak heran jika ia mendapat banyak pelajaran dan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menjadi ahli Al-Qur’an yang sangat mumpuni. Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakanku dengan banyak kebaikan, dan beliau berkata: “Sebaik-baik penerjemah atau penafsir Al-Qur’an adalah kau.”